Klikkk!
Karya : Musmarwan Abdullah
MALAM kian larut. Kau log out dari Facebook, memadamkam laptop, meninggalkan meja baca, menuju ke ranjang, dan terlentang dengan mata menerawang ke langit-langit kamar. Sebelum pulas, dengan lengan menyilang di dahi, kau berpikir, “Besok pagi tentu aku akan terbangun. Begitu sempitnya masa untuk tidur. Seandainya aku tertidur lima ratus tahun, apakah ketika terbangun aku masih bisa membuka Facebook? Apakah ketika itu Facebook masih ada? Apakah saat itu aku masih bisa membaca status-status yang pernah ku-update?”
Akhirnya kau terlelap. Pagi datang. Dan kau masih terlelap. Siang berlalu. Kau masih tidur. Sore berlalu dan malam pun datang lagi. Kau masih terlelap. Posisi tidurmu pun berubah, tidur menyamping. Pagi keesokannya datang lagi, namun kau masih juga tidur pulas. Kini setahun sudah berlalu, kau masih tetap nyenyak; hanya posisi tidur yang berubah-ubah, sekali menyamping ke sebelah sana, lain kali menyamping ke sebelah sini.
Seratus tahun berlalu. Kau masih tertidur. Kini tiga ratus tahun sudah berlalu. Kau masih tetap nyenyak. Sekarang genap lima ratus tahun sudah berlalu. Dan keesokan paginya, pada hari kelima ratus satu, kau pun terjaga. Kau menatap langit-langit kamar: penuh sarang laba-laba. Kau menatap dinding-dinding kamar: semua warna cat dan semen sudah kusam. Kau memasang telinga, mencoba mendengar suara-suara riuhnya anak-anak tetangga seperti pagi-pagi biasa. Namun senyap. Hening. Hanya ada suara-suara burung yang berkicau bagai di pasar burung.
Kau bangkit dari ranjang, berjalan ke luar rumah. “Oh, Tuhan,” desahmu dengan mulut ternganga. Dunia sudah dipadati semak-belukar dan pohon-pohon besar dan tinggi. Binatang-binatang beragam jenis bersiliweran. Burung-burung bertebangan beraneka warna. Rumah-rumah tetangga, kiri-kanan, sudah tiada; hanya menyisakan pertapakan. Dan kau berjalan, berjalan, dan terus berjalan, namun tak kautemui seorang manusia pun. Tak kautemui sebuah mobil pun di jalan yang sudah dipenuhi ilalang, semak dan pohon-pohon. Dunia tanpa manusia. Kau tak tahu bagaimana memahami semua ini. Benar-benar tak ada lagi manusia seorang pun di dunia.
Kau kembali ke rumah dan masuk ke kamar. Di atas meja, laptop masih terbuka, dilapisi debu tebal. Kauhapus debu dari monitor dan keyboardnya. Kaucoba menekan tombol powernya. Blaaa! Laptop menyala. Kaucoba mengakses internetnya. Bisa! Kaucoba membuka akun Facebookmu. Bla! Bisa! “Wow! Luar biasa! Semarak sekali kehidupan di dalam Facebook!” batinmu dengan perasaan girang. Dan ketika kau asyik membuka-buka beranda, wall dan pesan-pesan di inbox, blakkk! Sebuah tulisan muncul menutupi seluruh halaman Facebook. Bunyinya, “Mau meneruskan? Klik di sini!” “Wah! Apaan ini? Dulu tak ada yang begini.” Tapi, karena penasaran, kau mengklik. Klikkk!
Tiba-tiba segenap halaman monitor mengeluarkan cahaya yang sangat benderang hingga matamu silau. Terasa sinar cahaya itu melingkupi seluruh tubuhmu, dan terasa olehmu sinar itu bekerja demikian cepat merubah subtansi tubuhmu, mengurainya, dan lebur menjadi elemen-elemen cahaya hingga kau kehilangan pengertian atas segala yang terjadi. Dunia terus berputar. Sementara kau tertidur dan tak sadarkan diri hingga tiba-tiba kau siuman dan mendapati dunia di sekelilingmu ramai sekali dengan orang-orang, tua-muda, lelaki-perempuan, semuanya tengah menjalani kehidupan yang bahagia.
“Di mana ini?” tanyamu pada orang pertama yang kaujumpai. “Maksud Anda?” perempuan itu balik bertanya. “Maksud saya, apa nama tempat ini, atau kota ini, atau kampung ini. Maksud saya, hmmm., apakah ini sebuah dunia? Maksud saya, aaaaa., kalau memang ini sebuah dunia, apa nama dunia ini?” demikian kau bertanya terbata-bata. “Maksud Anda, nama dunia ini?” perempuan cantik itu seperti tidak yakin pada pertanyaanmu. “Iya,” jawabmu. “Kok Anda tidak tahu?” dia bertanya keheranan dengan air muka makin manis. “Tolonglah, saya benar-benar serius dengan pertanyaan saya,” kau memelas. Lalu perempuan berambut ikal tergerai sepunggung itu menjawab, “Ini dunia maya.”
“Haaa?! Ha-ha-ha! Anda benar-benar gila, Nona! Eh, sori, maksud saya, itu benar-benar jawaban gila!” tergelak kau terpingkal-pingkal. “Maksud Anda, ini benar-benar dunia maya? Lalu apa nama kampung ini, atau kota ini, atau kawasan ini?”
“Ini kawasan Facebook,” jawabnya.
“Yang di sana itu?” tanyamu lagi, dan kau yakin, perempuan itu pasti akan menjawab “Kawasan Twitter”.
“Itu Kawasan Twitter,” jawabnya. “Nah, kan?” pikirmu. “Memang benar-benar gila jagat semesta ini. Bulsyittt!” sambung batinmu.
“Oya, bagaimana caranya kita kembali ke dunia nyata?” kau bertanya kesal.
“Untuk apa kembali ke dunia nyata,” kata dia. “Sunyi sekali sekarang di sana. Sudah tak ada orang pun. Lagi pula sekarang banyak sekali binatang buas di sana. Hutan di mana-mana.”
“Tidak, tidak, Nona! Aku mau kembali ke dunia nyata. Tolonglah, bagaimana caranya?”
“Tidak ada cara.”
“Kok?!”
“Apa kok-kok!”
“Tolonglah! Ini tidak mungkin! Ini kejam sekali. Masak tekhnologi begitu kakunya? Aku ingin kembali ke dunia nyata, tolonglah, Nona. Bagaimana caranya?”
“Pergilah ke kuburan Mark Zuckerberg. Tidur di samping kuburannya. Mintalah wangsit sama dia. Tiap orang akan mendapatkan kode yang berbeda, sama seperti password akun Facebook waktu di dunia nyata.”
Dan kau pun pergi ke kuburan Mark Elliot Zuckerberg. “Bulsyit itu orang! Ada-ada saja akalnya! Bikin dunia ini-lah, bikin dunia itu-lah! Mentang-mentang otaknya encer! Yaaaaaaah!” Kini kau tiba di kuburan Mark. Kau tidur satu malam di samping kuburannya agar mendapatkan wangsit. Dan malam itu kau bermimpi seakan-akan berbicara dengan si pencipta dunia maya Facebook itu. Dia bertitah, “Sujud di kuburanku tiga kali, lalu bilang ini: sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tuuuuuuu-joeh! Nyang lakoe puwoe u binoe, nyang binoe puwoe bak lakoe. Nyang ka keunoe puwoe u nanggroe, nyang han eik theun sidroe puwoe bak sot keunoe.”
Dan kau pun terjaga. Keesokan paginya, kau bersujud tiga kali menyembah kuburan Mark Zuckerberg, lalu kau mengucapkan mantera yang diberikannya tadi malam dalam mimpi, “Sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tuuuuuuu-joeh! Ureung lakoe puwoe bak binoe, nyang binoe puwoe bak lakoe. Nyang ka keunoe puwoe u nanggroe, nyang han eik theun sidroe puwoe bak sot keunoe.” Setelah itu kau menuggu. Penasaran. Menunggu lagi. Sudah agak lama. Tidak terjadi apa-apa, tidak terjadi perubahan apa-apa. Kau kesal. Menunggu. Menyumpahi Mark Zuckerberg sebagai manusia penemu dunia baru sekaligus beragam problem baru itu. Lalu malamnya kau datang lagi ke kuburannya. Tidur di situ. Lalu bermimpi. Dalam mimpi, Mark datang dengan senyumnya yang khas itu. Katanya, “Passwordnya salah. Salah di awal. Bukan “ureung lakoe”, tapi “nyang lakoe”. Ulangi besok pagi.”
Esok pagi kau kembali bersujud tiga kali menyembah kuburan Mark Elliot Zuckerberg, lalu kau mengucapkan mantera-password, “Sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tuuuuuuu-joeh! Nyang lakoe puwoe u binoe, nyang binoe puwoe bak lakoe. Nyang ka keunoe puwoe u nanggroe, nyang han eik theun sidroe puwoe bak sot keunoe.” Dan, tiba-tiba, blaaaaaa! Kau kembali berada di halaman rumahmu di dunia nyata.
Namun, kini baru jelas kaurasa. Sunyi mendera. Sunyi menyiksa. Dunia tanpa ada lagi manusia. Dan serta-merta kau masuk ke kamarmu. Menekan tombol power pada laptopmu. Kau tak mungkin berlama-lama lagi di dunia nyata yang sunyi menekan begini. Kau ingin segera kembali ke dunia yang ramai. Tetapi, “Oh, Tuhan, baterai laptopku sudah habis!” Laptop tak mungkin menyala lagi. Sedangkan listrik di dunia ini sudah beratus-ratus tahun tak ada lagi. Mesin-mesin pembangkitnya pun sudah berkalang tanah.
“Oh, Tuhan, bagaimana caranya ini? Oh-oh-oh! Ya-ya-ya!” kau ingat. Kau masih punya baterai serap yang sering kaugunakan dulu dalam perjalanan. “Semoga dia masih ada di dalam laci meja ini.” Dan laci meja segera kaubuka. Wah! Kau menemukan baterai itu. Segera kaupasangkan pada laptop. “Semoga ia masih menyimpan arus barang sedikit.” Nah, sekarang power laptop kautekan. Blaaaaaaa! Laptop menyala. Kau mengakses internet. Membuka akun Facebook. Lalu keluar tulisan, “Mau meneruskan? Klik di sini!” Dan kau mengklik di situ.
Klikkk! Kembang Tanjong, Januari 2014
* Musmarwan Abdullah, cerpenis
Labels:
Cerpen