POHON HASAN ( cerpen )

Karya Ikhsan Hasbi
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2016/02/14/pohon-hasan
SEKIRANYA itu tidak perlu, saya tidak akan mengenangnya,” tulisHayyan dalam sebuah catatan kecil yang kutemukan setelah ia meninggal. Aku melihat ada bentuk gumpalangumpalan awan mendung di buku itu. Kukira airmata. Tetesan itu semakin menggenapkan dugaanku tentang esedihannya, melihat apa yang terjadi setelah ia kembali lebih dari 20 tahun masa perantauannya.

Dulu, di depan gedung serbaguna, ada sebuah panggung yang tidak terlalu lebar, yang sering kami gunakan untuk bermain galah, dengan kerindangan di halaman yang luas, cukup menjadi tempat yang paling menyenangkan bagikami menghabiskan waktu sambil bermain, terutama saat bel jam istirahat di sekolah berbunyi. Panggung itu mengusung duagambar gajah yang saling berhadapan yang dikenal sebagai Meurah Duek. Aku dan teman-teman lainnya akan menggambar persegi seluas panggung itu, lalu kami bagi empat berbentukpersegi.
Membutuhkan dua kelompok untuk memainkan permainan itu. Butuh enam penjaga di tiap garis: masingmasing penjaga di garis horizontal yang searah dengan tangga panggung dan tiga penjaga di garis vertikal.
Penjaga bertugas untuk menghalau setiap orang yang ingin melewati garisgaris itu. Seolah garis horizontal yang berdekatan dengan tangga panggung menjadi pintu utama. Para penjaga ini boleh menyarangkan pukulan serupa membulatkan buku tangan, lalu menghantam punggung lawan, atau serupa tepisan, setidaknya mampu menyentuh lawan main. Marah dan malu sudah risiko, tapi sebisanya tidak boleh meluapkan perasaan itu.
Maka berjalanlah permainan sambil mengacak- ngacak langkah. Seorang penjaga akan mengangkat kedua tangan lebar-lebar untuk menjaga dua pintu yang saling membelah karena akan ada dua pemain yang hendak melewati garis. Jikakedua pemain berhasil menembus penjagaan itu hingga akhir, mereka dinyatakan menang dan diakui lihai menghindari pukulan penjaga.
Namun jika gagal, mereka harus tukar posisi menjadi penjaga. Maka tak urung dalam permainan itu akan terdengar, ‘buk’, disertai ucapan ‘aduh’ atau cacian yang tak jelas arahnya akibat pukulan si penjaga. Wajah mereka akan berubah getir, tersenyum getir, memasang tampang kuat, seolah sudah terbiasa dan sanggup menahan deraan.
Di saat seperti itu, selalu ada yang menertawakan. Entah kenapa pula dalam urusan tertawa, aku jadi berpikir, apakah memang sudah sifat anusia suka menertawakan penderitaan orang lain? Usai bermain, kami akan berkipaskipasan. Baju putih berkeringat melekat di badan. Keringat di jidat menemukan jalur ke dagu dan menetes satu dua. Mengingat sebentar lagi waktu istirahat akan habis dan kami harus masuk kelas, aku akan embasuh tangan dan muka ke kamar mandi yang terletak di luar sekolah, di sebuah bangunan kecil bersebelahan dengan pagar sekolah.
Sebuah sumur dengan cincin di atas permukaan setinggi kurang lebih 50 centi bergolak saat timba bocor kujatuhkan ke dalamnya. Cahaya seringkali mampu menembus celah yang berlubang. Cahaya itu jatuh ke dalam sumur, pantulannya akan jelas terlihat bening. Dan di dasar sumur aku bisa melihat, sapu dan kursi yang berlumut. Usai ritual basuh membasuh itu, aku akan bergegas masuk kelas sebelum guru mengayunkan penggaris kuning laksana ayunan pedang para Kesatria Templar. Setiap jam istirahat, selalu ada alasan bagi kami keluar dari area sekolah.
Sangking seringnya, banyak guru yang tidak sanggup lagi mengingatkan. Kami masih dengan prinsip dasar: makin dilarang makin melanggar. Sembari melingkari jarak untuk menghilangkan jejak akibat larangan jajan di luar sekolah, kami akan meloncati pagar sekolah, terus ke belakang bangunan kuning yang disesaki aliran comberan yang baunya minta ampun.
Bila musim padi menghijau tiba, aku sering merasakan sensasi kesenangan menyambut panorama alami i belakang bangunan kuning itu, palagi dihembus angin persawahan yang mengingatkanku betapa menyenangkan hidup di masa kecil dengan segala keluwesan dan mungkin ketertinggalan—menurut anggapan orang kota yang bagiku terkesan kolot dan tidak tahu menahu. Namun ganggang ang meruapkan bau bacin, sisa insang ikan yang terpotong, kotoran manusia yang ikut melarung di dalamnya dan sampah yang menggenang namun masih mampu bergerak dialirkan air got, menyisakan hal yang paling binal dalam ingatanku: kebiasan manusia adalah menumpuk kotorannyaada satu tempat, lalu dialirkan tanpa memikirkan ke mana muaranya!
Bersama-sama teman sekelas, kami menjadi kuat: kuat menanggung akibat, jika seandainya guru sekolah tahu kami cabut jam istirahat ke pasar; kuat menanggung ingatan, jika seandainya kenangan silam membuat kami sedih dan ingin berkumpul bersama lagi, meskipun di balik ingatan itu kami yakin, absurditas apalagi yang mesti dipertaruhkan untuk melanggengkan lintasan waktu agar abadi antara masa lalu, sekarang dan masa depan!
Dengan baju putih dan celana biru dongker panjang, kami melenggang, layaknya kesumat yang dibiarkan berkeliaran menata dan meluapkan balas dendamnya. Kerumunan orang di pasar membuat kami senang. Canda tawa antar sesama pedagang dan pembeli, menghidupkan kesemarakan yang tidak pernah kudapatkan lagi di masa sekarang.
Apalagi di hari Rabu. Pada hari pekan itu, penjual dan pembeli saling beradu: mulut, harga, harkat dan martabat. Lakon yang mampu menghidupi kesemarakan. Para penjual pernak-pernik hiasan, penjual baju, jilbab, baju dalam, celana dalam, tembikar, parang, pisau, panci, beulangong, dan tak urung jasa tambal barang rumahan itu.
Ada pula penjual obat-obatan, hasil racikan yang barangkali tanpa izin badan resmi, langsung mendagangkan barangnya. Seperti yang kutemukan alam ingatanku: seorang lelaki berkopiah haji yang tak henti-hentinya melambungkan kata-kata. Kadang disertai irama dan nyanyian yang membuat banyak orang betah berlama-lama di dekatnya. Bermodalkan pengeras suara alakadar, cukup untuk mlontarkan kata-katanya di antara ratusan orang yang berjejalan; tangan-tangan yang mengantongi sayur, baju, pisau, pernak-pernik dan apa saja yang bisa dijinjing.
Sedangkan anak-anak seperti kami, dengan tubuh mungil, sebisa mungkin merenggangi celah di antara kaki panjang orang dewasa, atau sekedar mengintip cara bertutur, seni berdagang orang-orang yang punya sejuta kalimat alternatif, yang ujung-ujungnya supaya dagangannya laku!
Mengenangnya saja bagiku sudah cukup menghibur. Sekalian dengan kenangan itu, aku pun diingatkan bahwa tak ada jalan kembali, selain meretas yang silam dalam ingatan. Sepulang dari pasar, kami akan membawa berbagai hal yang bisa kami beli, bermodalkan jajan atau sisa jajan kemarin yang sudah bertambah dengan jajan hari ini. Ada yang membawa pulpen dengan gambar menarik—yang kemudian dianggap sudah dibumbui dengan bahan narkotik.
Sedangkan aku, jarang membeli hal-hal semacam itu. Aku terbiasa membeli mie caluek Kak Yam. Aku tidak mampu meraba dalam ingatanku tentang ketepatan tanggal, barangkali hanya tahun. Pohon hasan, satu-satunya pohon yang tumbuh dihalaman yang luas agak ke kiri dari panggung tempat kami bermain galah. Pohon itu cukup rindang dan besar. Butuh sekitar enam atau tujuh lengan orang dewasa untuk bisa memeluk pohon itu. Dahan-dahannya yang besar mampu menghalau pendaran cahaya matahari di hampir seluruh permukaan lapangan.
Di bawah pohon itu, kami sering melepas canda tawa. Menyantap mie caluek atau memamerkan aneka benda menarik. Tak jarang pula pohon itu adi tempat bagi teman-teman atau senior mencantumkan tulisan asal-asalan.Misalnya, Mirna yang disertai lambang love disanding dengan nama Iqbal; meski kadang-kadang yang menulis bukanlah yang punya nama. terlihat juga bentuk serupa cakaran akibat keisengan orang yang tidak bertanggung jawab. Seolah pohon hasan menjadi dinding curahan perasaan atau amuk mereka yang putus asa. Lainnya adalah hiasan tak layak, menjelma dalam kebutaan fantasi anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa.
Teman-teman yang lincah akan berjinjing di dahan dan sebentuk akarakaran untuk memanjat hingga ke dahannya yang lebih besar. Aku tidak ernah memanjat pohon itu, teringat cerita beberapa teman kalau di tengahtengah pohon itu, ada lubang tempat ular bersarang. Lubang itu barangkali dengan gampang menjelaskan: pohon hasan itu memang besar, namun tidak sekokoh yang dibayangkan.
Di musim yang aku tidak tahunamanya, putik-putik kuning akan berjatuhan, seolah salju di negeri empat musim. Indah sekali! Hingga lapangan yang luas kehijauan jadi menguning, kuning-kuning kehijauan. Sensasi putik-putik kuning yang luruh membuat kami sering berandai-andai, membuka ancing baju, dibantu angin yang akan menggerakkan kemeja putih kami yang tidak terkancing. Putikputik kuning itu jatuh seperti dalam adegan film India, lalu kami berputarputar menyambutnya.
Alangkah senangnya! elihat kembali pohon hasan itu dalam ingatan, aku membayangkan Taman Nasional Sequoia di California yang dipenuhi pohon-pohon raksasa. Dulu, saat panggung di depan gedung serbaguna itu di puncak kejayaannya, ada ragam pementasan: mulai dari konser, penampilanpenampilan spektakuler hingga tempat upacara. Pohon hasan itu cukup membantu dan menjadi tempat favorit remaja atau orang-orang dewasa agar bisa menonton pertunjukan di panggung secara leluasa.
Namun yang membuatku sering bertanya-tanya, kenapa pula pohon itu dinamakan seperti nama manusia, Hasan! Aku tak sempat mendapatkan jawaban itu, hingga suatu ketika, saat pulang ke kampung, aku tak lagi melihat pohon hasan di tengah halaman gedung serbaguna yang luas itu. Di atas jejak pohon hasan itu sudah dibentuk semacam undakan dengan patung seekor gajah yang mengangkat kedua kakinya dan mulut yang seolah sedang meniup sebuah sirene. Sesaat aku berpikir, ‘oh barangkali sang penguasa menebang pohon hasan untuk mengembalikan lambang gajah pada kota ini.’
Namun beberapa bulan kemudian, anggapanku itu keliru. Ketika aku kembali dengan wajah cerah, setelah merantau sekian tahun, aku menemukan lahan di depan gedung serbaguna itu sudah rata. Pohon hasan telah lama ditebang, barangkali karena sewaktu-waktu dahannya yang rapuh bisa enimpa orang yang berdiri di bawahnya, lalu untuk mudahnya diganti dengan patung gajah.
Namun yang tersisa alam pandanganku kali ini adalah kecerobohan. Kecerobohan yang barangkali tidak termaafkan. Tak ada lagi pohon hasan, tak ada lagi patung gajah. Lantas, aku hanya bisa berpendapat, ‘O, barangkali sang penguasa tak memerlukan lagi jasa gajah, hingga lambang itu dihancurkan pula; dan jelas pula tak memerlukan kerindangan pohon hasan. Yang jelas, ingatan tentang kenangan itu tak akan mampu dibebat.’ Sembari berkelana sesaat ke masa lalu, mataku masih menghujam pada catatan kecil milik Hayyan, “Sekiranya itu tidak perlu, saya tidak akan mengenangnya.” Banda Aceh, Januari 2016
* Ikhsan Hasbi, Pernah Bergiat di Sanggar Seni Seulaweuet.