CELAKA ( cerpen )

Sumber : http://aceh.tribunnews.com/2016/01/31/celaka
SUNGGUH, tidak ada yang lebih kha daripada Mustafa Musa. Bahkan jika ia berjalan di pasar, seakan bukan hanya pedagang yang menunduk, tapi juga tokotokonya sekalian. Sayur mayur dan lauk pauk yang berserak tumpuk segera berkumpul,menyambut Mustafa Musa. Yassalam, inilah lelaki paling hebat sepanjang sejarah ditemukannya pulau Sumatera oleh bajak laut. Tidak ada selain dia. Mustafa Musa berhasil menguasai Pasar Selatan hanya berbilang hari dari rencana penaklukannya semula.

Padahal ini pasar dikenal bengal dan kejam.Ketika baru terpilih ia berjanji akan emurahkan harga pangan sandang, meringankan harga mahar, mensejahterakan janda-janda, dan tentu saja dibumbui sekelindan janji lainnya. Sebenarnya itu tidak perlu, toh, tidak ada yang berani protes sekalipun ia ingkar.
Hanya dua orang yang berani bersikeras menuntut: Sabiran dan Malik Husen. Keduanya telah berpulang ke pangkuan tanah. Usut punya usut, mereka portes agar Mustafa Musa segera dienyahkan. Mereka seniwen setelah tanahnya disita pasukan Mustafa untuk kepentingan pembangunan. Sekarang Mustafa sedang menyusun rencana penabalan diri sebagai Tuan Abadi Kuasa. Namun rencana itu enjadi kacau. Puncanya setelah ia mendapat kabar pada Senin malam, saat sedang duduk di kedai kopi Asbabun Nisa. Saat itu dia teringat teman baiknya,Marzak. Marzak adalah eorang guru bahasa, bajingan ini kepercayaannya, sudah beranak dua tapi masih sukaenggoda cewek-cewek perempuan saat mengajar di kelas.
“Itu hanya ramalan, Tuanku. Jangan terlalu percaya. Zulkifli itu memang penyebar berita buruk,” ujar Marzak meringankan beban pikiran temannya. “Tapi aku sudah melihat kenyataannya,” kata Mustafa Musa ngilu. “Apakah tidak sebaiknya Zulkifli kita enyahkan saja? Apa susahnya bagi Tuan? Dia telah membuat keresahan.” Demikianlah! Kabar yang berembus Zulkifli sedang dicari pihak Mustafa Musa. Orang-orang yang difitnah tidak perlu membela diri, saudara. Kita hanya perlu balas dendam,” ujar Zulkifli kepada teman-temannya sesama pedagang. Malam itu, Senin, bulan masih sabit. Mustafa Musa duduk sendiri di bangku panjang yang melidah dari pintu ke dindingdepan kedai kopi Asbabun Nisa.
“Tuanku, Mustafa Musa!”
Terloncat dari bangku Mustafa Musa mendengar suara itu dan segera memasang kuda-kuda. “Tak perlu bersiaga. Saya tidak akan membunuh Tuan.” Zulkifli tertawa. “Kau selalu membuat hidupku dalam keadaan berenang-renang, Zul,” ucap Mustafa Musa. Dia duduk kembali. “Sudah demikian adanya, Tuanku. Anak-anak Tuan, cobalah lihat, semakin ta terkendalikan. Semalam saya lihat si sulung sedang memadu cinta di Selatan Tiga.
Tak wayang, lelaki yang memeluknya itu....!” “Lelaki? Kau berdusta,” hardik mata Mustafa Musa melebar, suaranya menggelegar. “Memang tak ada kata percaya dalam kamus Tuan untuk saya. Sama seperti ketika anak-anak lelaki Tuan saya kata akan menjadi banci. Tuan tak terima. Hari ini, jadi banci mereka. Siapa lagi pewaris Tuan?” “Aku tidak perlu cerita itu, Zulkifli.Katakan padaku siapa lelaki yang memelukSalim Wahidin!”
“Tuan tak akan percaya,” Zulkifli mengeraskan suara. “Kamu salah mata!”
“Mata saya masih sangat terang, Tuan.”
“Celaka! Celaka!”
***
Marzak menyusun rencana untuk menumpas Zulkifli. Kedekatannya dengan Mustafa Musa membuat ia berani mengambil keputusan sendiri. Di pasar, diam-diam dia kerap memerhatikan gelagat Zulkifli yang khusyuk berjualan peci. Nun di kamar kehormatan, Mustafa Musa terbaring sakit sudah sepekan. Anak sulungnya, Salim Wahidin sudah terganggu jiwanya setelah dihantam benda tumpul di tengkuknya oleh orang tidak dikenal. Seorang pengawal buru-buru masuk menyampaikan, “Zulkifli telah mati, Tuan. Di tangan Marzak!” “Bagaimana bisa?” Mustafa Musa terkejut bangkit sekalipun masih lemah. “Kami tidak tahu persis. Tapi Marzak sedang dirajam warga Pasar Selatan karena ditemukan sedang bercinta dengananak lelaki kedua Tuan!” Mustafa Musa membeliak tak percaya. Suara lemahnya hanya mengucap,” Celaka! Celaka!”
* Nazar Shah Alam adalah pegiat di Komunitas Jeuneurob