Wanita dalam Sebuah Foto ( cerpen )

Karya Dina Triani GA
AGUSTIAN merasa begitu lelah setelah seharian memindahkan barang – barangnya dari tempat tinggal yang lama ke rumah kontrakan baru. Pinggangnya terasa linu dan kakinya pegal-pegal. Dari pagi hingga sore hari, Agustian tak behenti mengangkat dus– dus yang berisi barang keperluannya.
Ini adalah kepindahannya yang kelima, setelah sebelumnya ia sempat berpindah– pindah tempat kos dan akhirnya memilih mengontrak rumah. Alasannya kali ini adalah agar ia lebih punya privasi. Ia bisa bebas mengatur jadwal pulang tanpa mengusik ibu kos, tidak terikat piket membersihkan WC, pakaian di jemuran tak akan hilang atau tertukar dengan milik penghuni kos lainnya dan yang paling penting ia punya ruangan untuk meletakkan semua barang–barang pribadinya.
Rumah kontrakan yang baru dihuni ini berukuran tidak begitu besar. Cukuplah untuk pria lajang seperti dirinya. Memiliki dua kamar tidur, kamar mandi merangkap tempat cuci baju, sebuah dapur dan ruang tamu yang menyatu dengan ruang makan. Rumah itu letaknya di ujung sebuah gang sempit. Bangunannya tua, tapi baru saja di cat kembali oleh sang pemilik rumah. Langit – langit terasnya udah lapuk sehingga dijadikan sarang oleh burung. Walau begitu, hawa di ruang rumah itu begitu sejuk.
Mungkin karena memiliki banyak jendela ehingga angin bebas bersliweran. Agustian mulai terkantuk – kantuk akibat kecapean. Ia bersandar di tepi ranjang sambil memandang dus – dus yang masih berserakan di lantai. Ditengah rasa kantuk yang melanda, ia sempat berpikir bagaimana bisa menyelesaikan semua pekerjaan membereskan barang seorang diri. Rusli, yang pernah menjadi teman satu kosnya hari ini sama sekali tidak bisa dimintai untuk membantu karena terbentur jadwal kuliah.
Sedangkan Herman, teman satu kamarnya dulu edang pulang kampung. Jadilah dia harus melakukan semua perkejaan seorang diri. Sial! Begitu umpatnya dalam hati. Tenggorokannya tiba – tiba terasa begitu kering. Ia bangkit dari duduknya dan mengambil sebotol air mineral dari dalam tas ransel. Sebelum ia meneguk minuman, pandangan mata Agustian menangkap sebuah bingkai yang terpasang terbalik di dinding kamar. Agustian menduga bahwa bingkai yang entah foto atau lukisan itu pastilah milik si pemilik rumah yang belum sempat dipindahkan. Agustian berjalan mendekati an meraih bingkai itu.
Ketika ia membalik untuk melihat apa yang ada padabingkai itu, tampak sebuah foto. Foto hitam putih seorang wanita setengah badan. Wanita itu memiliki rambut ikal yang diikat kebelakang. Ciri khas model rambut tahun enam puluhan. Matanya tajam dan senyumnya samar. Wanita itu tampak seperti berusia sekitar 25 tahun menurut Agustian. Usia yang hampir sama dengan sianya sekarang. Setelah mengamati foto itu beberapa saat, Agustian kembali menggantungkan foto itu pada tempatnya. Ia tidak membalikkan posisi foto itu seperti semula, tapi membuat foto itu jadi bisa terlihat oleh dirinya.
Setelah itu, barulah ia meneguk minumannya. Tenggorokannya kini sudah basah oleh aliran air mineral. Rasa lelahnya berangsur –angsur hilang. Sebelum malam tiba, pemuda ini berharap sudah menyelesaikan semua tugas membongkar semua dus karena esok pagi ia akan segera masuk kerja. Malam pun tiba. Diluar angin kencang menderu–deru. Agustian berada di kamarnya seorang diri setelah membereskan semua barang –barang pindahannya.
Sepertinya akan ada badai, begitu pikir Agus ketikamendegar suara geledek dari sebelah utara. Angin menerpa daun jendela kamarnya sehingga menimbulkan suara. Hujan akan segera turun. Suara air yang jatuh dari langit punmulai terdengar dari atas genting. Hujan semakin deras dan petir menyambar – nyambar. Agustian terpaku di tempat duduknya. Rasa sepi mulai menyelimuti.
Tidak ada suara Herman atau Rusli yang biasa bersenda gurau di dalam kamar tidurnya saat ini. Yang ada hanyalah suara rintik hujan dan hembusan angin yang ditiup dari kisi – kisi jendela. Agus memutar – mutar cangkir tehnya diatas meja. Tatapan matanya tiba – tiba tertuju pada foto wanita itu lagi. Agus mengamatinya lekat – lekat. Pancaran wajahnya begitu dingin. Sedingin kamarnya kini. Sorot matanya yang tajam menunjukkan bahwa wanita itu punya pribadi yang keras.
Senyumnya sinis. Wanita itu sama sekali tidak ramah. Selagi petir menggelegar, Agustian bertanya – tanya dalam hati mengapa fototua wanita itu ada di kamarnya. Mengapa si pemilik rumah sampai lupa memindahkannya? Mungkinkah sengaja tidak dipindahkan atau ada sesuatu dengan foto itu? Agustian mulai menduga – duga, siapa tau wanita dalama foto itu adalah wanita jahat. Mungkin dia seorang pembunuhatau ... seorang psikopat! Bulu kuduk Agustian seketika berdiri. Hatinya tiba – tiba menjadi ciut. Pikirannya dipenuhi dengan hal – hal yang membuat ia semakin takut.
Bisa saja foto itu sengaja ditinggalkan pemiliknya untuk meninggalkan kenangan buruk. Bisa juga karena foto itu membawa kesialan bagi penghunirumah ini sebelumnya. Pikiran Agus semakin kalut. Malam itu menjadi malam yang sangat tidak mengesankan baginya. Tinggal sendirian ternayata tak selamanya menyenangkan. Pagi harinya, Agustian benar – benar tidak konsentrasi dalam menyelesaikan tugas kantornya. Selainkurang tidur, juga karena rasa penasaran terhadap foto wanita itu. Agus berencana mencari tahu, siapa esungguhnya wanita itu.
Maka, sepulang dari kantor, Agus segera mampir ke tempa kosnya yang lama untuk menemui Rusli. Mungkin Rusli bisa membantunya mencari tahu, begitu pikir Agus. “ Wajahnya menyimpan sejuta misteri, “ kata Agus ketika bertemu Rusli. “ Sorot matanya seolah menghujam ke jantung. “ “ Apakah ada foto lain selain foto dirinya? “ tanya Rusli ikut penasaran. Agus menggeleng cepat, “ Kalau ada, mungkin aku tak securiga ini. Pasti ada apa – apanya dengan wanita itu. “ Rusli mengurut – urut kening, “ Aneh juga. “ “ Aku khawatir kalau rumah itupernah terjadi pembunuhan, “ suara Agus parau. “ Harga sewa rumah itu tergolong murah dibandingkan rumah – rumah lain yang pernah kukunjungi. Rumah itu tidak buruk.
Makanya aku langsung tertarik. “ “ Apa kau pernah bertanya engapa rumah itu dikontrakkan pada pemiliknya? “ tanya Rusli penuh seledik bak detektif. “ Biasanya si pemilik rumah suka cerita alasan rumah mereka dikontakkan atau dijual. “ “ Tidak, “ jawab Agus. “ Dia hanya cerita kalau semua anaknya sudah menikah. Rumah itu rencananya akan dijual kalau ada yang berminat. Alasan dijual karena mereka ingin tinggal dirumah anak bungsunya. “ “ Hmmm.... “ Rusli tampak berpikir – pikir
“ Mereka adalah sepasang suami istri yang sudah senja usianya, “ Agus melanjutkan. “ Mungkin mereka sudah tak mampu merawat rumah itu lagi. “ “ Siapa nama pemilik rumah itu, Gus? “ tanya Rusli setelah beberapa saat terdiam. “ Wahyu. Wahyu Sulaiman, “ jawab Agus.
Rusli terdiam lagi. Ia tampak berpikir – pikir namun seperti tidak menemukan titik terang. “ Aku ada ide, “ kata Rusli kemudian. “ Apa? “ tanya Agus sambil mendekatkan wajahnya. “ Kau bisa melakukan sedikit wawancara dengan tetangga rumahmu yang baru, “ jawab Rusli. “ Pastinya jangan sampai menimbulkan kecurigaan agar rahasia ini bisa terungkap. “ Agustian mengacungkan jempolnya. Rasanya ia sudah tak sabar lagi ingin segera melakukan wawancara itu. Agus sudah membayangkan bahwa betapa hebohnya dunia jika akhirnya seorang pembunuh yang sangat keji, yang telah menghilang berpuluh – puluh tahun berhasil ditemukan.
Meski hanya sebuah potret. Seminggu sudah berlalu. Agustian belum juga melakukan wawancara dengan para tetangga perihal wanita misterius dalam foto itu. Kesibukan kerja serta kegiatan ikut kelas catur membuat Agus menunda wawancara. Walau begitu, pikirannya tetap tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Setiap bangun pagi dan menjelang tidur malam, Agus akan melihat kembali fotoitu. Mengamati, meneniliti dan membayangkan apa yang terjadi dengan rumah yang sekarang ia huni.
Hingga tibalah suatu hari, sebuah motor Vespa warna abu – abu tua berhenti tepat di depan rumahnya. Dari jendela ruang tamu, Agustian melihat seorang pria paruh baya turun dari motornya. Agustian mengamati wajahnya dengan seksama. Siapa dia? tanya Agus dalam hati. Sungguh dia tidak mengenali pria itu sama sekali. Pria itu mengucapkan salam sebelum Agus membukakan pintu untuknya. Maaf... “ ucap Agustian. “ Bapak mencari siapa ya? “ Pria itu mengulurkan tangan sambil berkata, “ Saya Mirza, anak sulung apak Wahyu. “ Agustian menyambut uluran tangannya, “ Saya Agustian. Oh, bapak anak pak Wahyu pemilik rumah ini ya? “ Pria paruh baya itu kembali tersenyum, “ Ya, betul. “ Agustian segera mempersilahkan tamunya masuk.
Ruang tamunya hanya terdiri dari dua buah kursi rotan yang sudah lapuk akibat dimakan Rayap. Kursi yang ia beli saat pertama kuliah sebagai tempat duduk saat belajar di kamar kosnya. Setelah keduanya duduk, pak Mirza berkata: “ Begini dik... dik siapa tadi? “ Agustian, “ sambut Agus. “ Panggil saja Agus. “ Pak Mirza mengagguk, lalu melanjutkan, “ Begini dik Agus. Maksud kedatangan saya kemari adalah untuk mengambil barang rang tua saya yang ertinggal. “
Agustian tampak bingung. Ia merasa tak ada satu barang pun di rumah itu yang bukan miliknya kini. Rumah itu benar – benar kosong saat ia pertama kali masuk, kecuali... foto. Ya, foto. Hanya sebuah foto berbingkai kayu. Foto yang menyita perhatiannya elakangan ini. “ Ibu saya melupakan fotonya di kamar tidur, “ suara pak Mirza memecah keheningan. “ Waktu pindah, ibu tidak ingat ada foto yang tidak ikut terbawa. “
Alis Agustian bertaut, “ Foto? Apakah foto hitam putih seorang wanita yang bapak maksudkan? “ Pak Mirza mengangguk, “ Iya,betul dik. “ Agustian menatap bola mata pak irza dalam - dalam dan bertanya lagi, “ Kalau boleh saya tahu, siapa wanita alam fotoitu, pak? “ Pak Mirza menyunggingkan senyuman, “ Wanita itu adalah ibu saya. Itu foto waktu beliau memperoleh mendali Perunggu untuk cabang olah raga tenis meja pada kegiatan Pekan Olah Raga Nasional. Itu foto yang paling berkesan bagi beliau.
Makanya saya diminta untuk mengambilnya sekarang. “ Agustian masih belum percaya dengan ucapan yang dikatan pak Mirza barusan. Seminggu lalu dia telah menebak bahwa wanita yang ada dalam foto itu adalah seorang pembunuh. Bahkan, semenit sebelum pak Mirza berkunjung ke rumahnya pun, Agus belum merubah penilaiannya itu.
Namun kini ia dibikin terkejut. Wanita itu adalah ibu pak Mirza yang tak lain pemilik rumah yang sekarang ia sewa. Seorang mantan atlit tenis meja yang pernah berjaya di tahun enam puluhan. “ Inikahfoto ibu anda, pak? “ tanya Agustian setelah menyerahkan fotoberbingkai kayu itu kepada pak Mirza. “ Iya, dik Agus, “ jawab pak Mirza tenang. “ Dialah ibu saya. “ Agustian menelan ludah. Ia amati lagi foto yang kini ada di tangan lelaki paruh baya itu. Tatapan mata itu, ya... tatapan mata yang tajam itu bukanlah tatapan seorang yang bengis atau kejam seperti penilaiannya selama ini. Tapi tatapan seorang pemenang.
Tatapan seorang yang optimis dan penuh percaya diri. Lalu senyum yang menghiasi wajahnya, bukanlah senyuman sinis seperti pendapatnya dahulu. Melainkan sebuah senyum kebahagiaan. Senyum peraih mendali Perunggu! Agustian terduduk di kursi rotannya. Ia menyadari telah keliru menilai seseorang.
Bagaimana bisa ia terlalu cepat menilai foto istri pak Wahyusebagai seorang pembunuh. Seorang detektif profesional pun mungkin tak segampang itu menebak seseorang, apalagi dirinya yang hanya berprofesi sebagai pegawai kantor pos. Agustian enghela nafas. Hatinya kini lega. Rasa takut yang selama ini menghantui kemana pun ia pergi seketika lenyap. Tidak ada lagi bayang – bayang pembunuh di rumahnya kini. Segera ia merogoh ponsel untuk menelepon Rusli. Agustian membeberkan kisah pertemuannya dengan pak Mirza. Diujung sana Rusli pun berkata: “ Makanya Gus, jangan pernah lagi menilai orang dari fotonya.” Ya, betul sekali apa yang dikatakan Rusli. Jangan pernah menilai seseorang darifotonya.
* Dina Triani GA, cerpenis tinggal di Banda Aceh